Gangguan berbahasa dibedakan secara dikotomis berdasarkan nama penemunya. |
Serangan stroke, selain menyebabkan kelumpuhan ada kalanya juga
mengakibatkan gangguan berbahasa bagi para penderitanya. Gangguan
berbahasa yang dialami pasien pasca-stroke dikenal dengan istilah
afasia, yang terwujud dalam bentuk gangguan pemahaman dan pengungkapan
bahasa, baik secara lisan maupun tertulis.
Secara garis besar, gangguan berbahasa dibedakan secara dikotomis berdasarkan nama penemunya, yakni afasia Broca dan afasia Wernicke.
Pembedaan yang ekstrem menyebutkan penderita afasia Broca mengalami
gangguan mengekspresikan bahasa, sedangkan penderita afasia Wernicke
mengalami gangguan pemahaman bahasa. Kenyataannya, pembedaan ekstrem ini
tidak selalu mutlak. Adakalanya masalah ekspresi dan pemahaman dalam
tingkat tertentu dialami keduanya.
Berdasarkan aspek fisiologinya, afasia Broca disebut afasia motorik dan afasia Wernicke sebagai afasia sensorik, yang dianalogikan dalam komputerisasi sebagai afasia keluaran dan afasia masukan.
Afasia Broca umumnya dialami pasien stroke yang mengalami lesi
(kerusakan otak) di belahan kiri bagian depan, sementara afasia Wernicke
dialami pasien yang mengalami lesi pada otak belahan kiri bagian
belakang. Penderita afasia Broca mempunyai bahasa khas berupa tuturan
yang tersendat-sendat namun bermakna. Keluaran wicara penderita afasia
Wernicke biasanya sangat lancar, namun kurang bermakna.
Kendati keluaran wicaranya tersendat-sendat, para penderita afasia Broca umumnya masih memiliki pemahaman bahasa yang memadai dan mampu menangkap maksud pembicaraan orang lain. Gangguan saraf yang mengatur fungsi motorik menyebabkan para penderita afasia jenis Broca ini mengalami gejala telegrafik atau mutisme dalam tuturan spontannya.
Bila penderita ingin mengatakan “Saya dan istri akan pergi ke rumah sakit naik mobil” ia akan mengatakan “Saya istri pergi rumah sakit mobil”. Gangguan saraf motorik membuat penderita memilih mengeluarkan kata-kata penuh (saya, istri, pergi, rumah, sakit, mobil) dan menghilangkan kata-kata tugas (dan, akan, ke).
Sebaliknya, tuturan wicara penderita afasia Wernicke umumnya sangat lancar, namun banyak mengandung kata tugas dibandingkan kata penuh. Saraf yang berkaitan dengan fungsi motorik penderita afasia jenis ini relatif tidak terganggu.
Namun, ada lesi bagian otak yang berkaitan dengan pemahaman, sehingga
tuturannya yang lancar sering lebih banyak berisi kata-kata tugas karena
penderita kesulitan mencari kata-kata yang tepat. Akibatnya,
pembicaraan penderita afasia jenis ini sulit dipahami lawan bicara.
Penderita afasia Wernicke memiliki pola bahasa yang khas, antara lain bicara spontan amat lancar, namun mengandung banyak kesalahan penggunaan kata, disebut sebagai parafasia. Penderita afasia jenis ini sering menggunakan kata-kata yang tidak ada dalam kamus (neologisme) yang berisi jargon, dan kata sasaran yang tidak dapat dikenali lawan bicara (parafasia).
Keparahan secara fisiologis akan diikuti keparahan gangguan bahasa dengan pola-pola tertentu sesuai jenis afasianya. Penderita afasia Wernicke memiliki pola keluaran wicara yang khas. Ada kalanya penderita afasia jenis ini menggunakan kosakata yang tercantum dalam kamus, namun kata sasaran tetap tidak dapat dikenali (jargon semantis).
Kalaupun ada kata sasaran yang dikenali, pasien umumnya menggunakan
kata lain yang berkaitan secara fonemis dengan kata sasaran, atau yang
berhubungan secara konseptual dengan kata sasaran.
Sebagai contoh, pasien yang berniat menyebut kata “dokter” justru menyebut kata “guru”, menyebut kata “bunga” saat ingin menyebutkan “pohon kelapa”, dan menyebut “dia” ketika ingin mengatakan “saya”.
Bukan Gangguan Wicara
Mantan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Dr Sidiarto Kusumoputro, membedakan secara tegas afasia atau gangguan berbahasa (language disorder) dengan gangguan wicara (speech disorder).
Gangguan berbahasa menurut Sidiarto berkaitan dengan kerusakan otak di
belahan kiri, sementara gangguan wicara berkaitan dengan gangguan
neuromuskular atau otot-otot yang dibutuhkan untuk fonasi, respirasi,
artikulasi, resonansi, dan prosodi dalam proses wicara.
Penentuan seorang penderita stroke mengalami afasia dan jenis afasia apa yang diderita, menurut Sidiarto dilakukan dengan mengkaji aspek neurologis dan aspek bahasa atau linguistiknya. Modalitas bahasa yang diuji dalam proses penentuan jenis afasia ini meliputi bicara spontan, pengertian auditif, kemampuan penamaan, serta kemampuan membaca dan menulis pasien.
Pasien Broca memiliki ciri bicara spontan yang tersendat-sendat. Namun, pasien memiliki pemahaman bahasa dan mampu mengekspresikan bahasa secara bermakna.
Pasien Wernicke memiliki ciri kemampuan bicara spontan yang lancar atau
fasih, namun mengalami abnormal dalam hal pengertian auditoris,
kemampuan penamaan benda, kemampuan pengulangan kata, serta kemampuan
membaca dan menulisnya.
sumber : sinarharapan.co
0 comments:
Post a Comment